Oleh : Drs.AGUS SETIAWAN,M.Pd
Guru Sejarah SMAN 1 Jatisari Karawang
Pendahuluan
Pengembangan
kurikulum berbasis kompetensi pada tingkat satuan pendidikan (KTSP)
merupakan suatu kegiatan tugas profesional pendidikan, yang bertolak
dari perubahan kondisi pembelajaran saat ini dan merekonstruksi suatu
model pembelajaran ke masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal itu
perlu dipahami terlebih dahulu apa dan bagaimana model dalam konteks
praktik pembelajaran.
Menurut
Mills (1989:4), model adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai
proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba
bertindak berdasarkan model itu. Hal itu merupakan interpretasi atas
hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem.
Perumusan
model mempunyai tujuan: (1) memberikan gambaran kerja sistem untuk
periode tertentu, dan di dalamnya secara implisit terdapat seperangkat
aturan untuk melaksanakan perubahan; (2) memberikan gambaran tentang
fenomena tertentu menurut diferensiasi waktu atau memproduksi
seperangkat aturan yang bernilai bagi keteraturan sebuah sistem; (3)
memproduk model yang mempresentasikan data dan format ringkas dengan
kompleksitas rendah.
Dengan
demikian, suatu model dapat ditinjau dari aspek mana kita memfokuskan
suatu pemecahan permasalahannya. Pengertian model pembelajaran dalam
konteks ini, merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan
teori psikologi pendidikan dan teori belajar, yang dirancang berdasarkan
proses analisis yang diarahkan pada implementasi KTSP dan implikasinya
pada tingkat operasional dalam pembelajaran.
Model Mengajar
Model
mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan
dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberi
petunjuk kepada pengajar di dalam kelas dalam setting pengajaran. Untuk
menetapkan model mengajar yang tepat, merupakan suatu pekerjaan yang
tidak mudah, karena memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai materi
yang akan diberikan dan model mengajar yang dikuasai.
Memilih
suatu model mengajar, harus juga disesuaikan dengan realitas yang ada
dan situasi kelas yang akan dihasilkan dari proses kerjasama yang
dilakukan antara guru dan peserta didik. Meskipun dalam menentukan model
mengajar yang cocok itu tidak mudah, tetapi guru harus memiliki asumsi,
bahwa hanya ada model mengajar yang sesuai dengan model belajar.
Apabila guru mengharapkan peserta didiknya menjadi produktif, maka guru
harus membiarkannya dia berkembang sesuai dengan gayanya masing-masing.
Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar peserta
didik.
Banyak
model mengajar yang telah dikembangkan oleh para ahli. Pengembangan
model tersebut didasarkan pada konsep teori yang selama ini
dikembangkan. Mengingat banyaknya model mengajar yang telah
dikembangkan, Bruce Joyce et.al (2000) mengelompokkan menjadi empat
rumpun yaitu: model pemrosesan informasi (processing information model), model pribadi (personal model), model interaksi sosial (social model), dan model perilaku (behavior model).
Model
mengajar pemrosesan informasi terdiri dari model mengajar yang
menjelaskan bagaimana cara individu memberi respon terhadap stimulus
yang datang dari lingkungan. Dalam prosesnya ditempuh langkah-langkah
seperti mengorganisasi data, memformulasikan masalah, membangun konsep
dan rencana pemecahan masalah, serta penggunaan simbol verbal dan non
verbal. Banyak model mengajar yang tergolong pada kelompok model ini,
yaitu: Inductive thinking (classification-oriented), Concept attainment, Scientific inquiry, Inquiry Tarining.
Model pribadi berorientasi pada perkembangan diri individu. Pelaksanannya
lebih menekankan pada upaya membantu individu dalam membentuk dan
mengorganisasikan realita yang unik serta lebih memperhatikan kehidupan
emosional peserta didik. Upaya pengajaran lebih diarahkan pada menolong
peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengembangkan
hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Yang tergolong pada
kelompok model mengajar ini adalah: Nondirective teaching dan Enhancing self esteem.
Model
Interaksi Sosial mengutamakan pada hubungan individu dengan masyarakat
atau orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses dimana realita
yang ada dipandang sebagai negosiasi sosial. Prioritas utama diletakkan
pada kecakapan individu dalam berhubungan dengan orang lain. Yang
tergolong pada kelompok model mengajar diantaranya: Partner in learning, Structured Inquiry, Group Investigation, Role Playing.
Model
mengajar perilaku dibangun atas dasar teori yang umum, yaitu kerangka
teori perilaku. Salah satu cirinya adalah kecenderungan memecahkan tugas
belajar kepada sejumlah perilaku yang kecil-kecil dan berurutan serta
dapat terukur. Belajar dipandang sebagai sesuatu yang tidak menyeluruh,
tetapi diuraikan dalam langkah-langkah yang konkrit dan dapat diamati.
Mengajar berarti mengusahakan terjadinya perbuatan dalam perilaku siswa,
dan perubahan tersebut haruslah teramati. Termasuk dalam model perilaku
ini adalah: Mastery learning, Direct Instruction, Simulation, Social Learning, Programmed Schedule.
Pergeseran Konsep Pembelajaran
Tuntutan
terhadap pelayanan pembelajaran yang ditunjang oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, mendorong terjadinya pergeseran konsep
pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah model belajar. Asumsi
pergeseran tersebut, bertolak dari peserta didik yang diharapkan dapat
meningkatkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber
pengetahuan, akan tetapi bagian integral dalam sistem pembelajaran.
Berdasarkan teori belajar yang ada, bermuara pada tiga model utama,
yaitu: a) Behaviroisme, b) Kognitivisme, dan c) Konstruktivisme.
a. Pembelajaran Behaviourisme
Good
et. al.(1973) menganggap Behaviorisme atau tingkah laku dapat
diperhatikan dan diukur. Prinsip utama bagi teori ini ialah faktor
rangsangan (stimulus), Respon (response) serta penguatan (reinforcement).
Teori ini menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan dan respon
peserta didik terhadap rangsangan itu ialah responsnya. Pendapat ini
sejalan dengan pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan
di antara stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif
diberikan reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi
apa-apa (hukuman).
Sebagai
contoh, seseorang peserta didik diberikan ganjaran positif setelah dia
menunjukkan respon positif. Dia akan mengulangi respon tersebut setiap
kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan diperoleh dalam
pengajaran guru dengan adanya latihan dan ganjaran terhadap sesuatu
latihan. Penguatan (reinforcement) yang terbina akan memberi
rangsangan supaya belajar lebih bersemangat dan bermotivasi tinggi.
Peserta didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka
inginkan dalam sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan mendapat
response positif.
b. Pembelajaran Kognitif
Model
kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori perilaku yang
berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para
peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya
mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini
menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang
mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari
ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda.
Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer)
yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep
tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik
untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau
penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta
didik memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan
teorinya tentang perkembangan intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek; (2) iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar; dan (3) symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak
Gagne melakukan penelitian pada belajar mengajar sebagai suatu rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif: pengkodean (cooding), penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving), dan pemindahan informasi (transferring information).
Menurut Bruner (1963) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui
tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic.
Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana siswa melakukan
aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua
adalah tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal.Tahap ketiga adalah tahap simbolik, dimana ia
mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan
logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol.
Menurut
Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak
diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan kegiatan
perancangan pembelajaran, yang meliputi: (1) Peserta didik akan lebih
mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun
berdasarkan pola dan logika tertentu; (2) Penyusunan materi pelajaran
harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas
dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat
lebih sederhana; (3) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada
menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa
yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah
menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya; dan (4)
Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor
ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi
kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses dan
lain-lain. (dalam Toeti Soekamto 1992:36)
c. Pembelajaran Konstruktivisme
Konstruktivisime
merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan
disusun dalam diri manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama
dipraktekkan dalam proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat
sekolah dasar, menengah, maupun universitas, meskipun belum jelas
terlihat.
Berdasarkan
faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak serta
merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang
serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu
pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran
adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola pembinaan ilmu
pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental
yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah bagi proses
renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan menghadapi
kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan sekitar. Realita
yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina sendiri.
Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman
yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka.Untuk
membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru, guru
harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila
pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian
daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu
bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.
John
Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa
pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran
sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berkesinambungan.
Beliau juga menekankan kepentingan keikutsertakan peserta didik di
dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
Ditinjau
persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme, maka
fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran
dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara melaksanakan
kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaidah
pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik
mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru, kepada
kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta
didik dalam membina skema pengkonsepan berdasarkan pengalaman yang
aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penelitian dari pembinaan model
berdasarkan kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep ditinjau
dari kaca mata peserta didik.
Beberapa aliran pembelajaran konstruktivisme:
§ Piaget
Pembelajaran
konstruktivisme berdasarkan pemahaman Piaget, beranggapan bahwa: 1)
gambaran mental seseorang dihasilkan pada saat berinteraksi dengan
lingkungannya, 2) pengetahuan yang diterima oleh seseorang merupakan
proses pembinaan diri dan pemaknaan, bukan internalisasi makna dari
luar.
§ Konstrukstivisme personal
pembelajaran
menurut konstruktivisme personal, memiliki beberapa anggapan
(postulat), yaitu: 1) Set mental (idea) yang dimiliki peserta didik
mempengaruhi panca indera dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
proses pembentukan pengetahuan, 2) Input yang diterima peserta didik
tidak memiliki makna yang tetap, 3) peserta didik menyimpan input yang
diterima tersebut ke dalam memorinya, 4) input yang tersimpan dalam
memori tersebut dapat digunakan lagi untuk menguji input lain yang baru
diterima, 5) peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap apa yang
menjadi keputusannya.
§ Konstrukstivisme sosial
Konstruktivisme
sosial beranggapan bahwa pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik,
merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: a) pengetahuan dibina oleh
manusia, 2) pembinaan pengetahuan bersifat sosial dan personal, 3)
pembina pengetahuan personal adalah perantara sosial dan pembina
pengetahuan sosial adalah perantara personal, 4) pembinaan pengetahuan
sosial merupakan hasil interaksi sosial, dan 5) interaksi sosial dengan
yang lain adalah sebagian dari personal, pembinaan sosial, dan pembinaan
pengetahuan bawaan.
§ Konstrukstivisme radikal
Konstruktivisme
radikal beranggapan bahwa: 1) kebenaran tidak diketahui secara mutlak,
2) pengetahuan saintifik hanya dapat diketahui dengan menggunakan
instrumen yang tepat, 3) konsep yang terjadi adalah hasil yang diperoleh
individu setelah melakukan ujicoba untuk menggambarkan pengalaman
subjektif, 4) konsep akan berkembang dalam upaya penggambaran fungsi
efektif tentang pengalaman subjektif.
Implikasi
konstrukstivisme terhadap pembelajaran adalah: (1) Pembelajaran tidak
akan berjalan dengan baik, jika peserta didik tidak diberi kesempatan
menyelesaikan masalah dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya; (2)
Pada akhir proses pembelajaran, peserta didik memiliki tingkat
pengetahuan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya; (3) Untuk
memutuskan (menilai) keputusannya, peserta didik harus bekerja sama
dengan peserta didik yang lain; (4) Guru harus mengakui bahwa peserta
didik membentuk dan menstruktur pengetahuannya berdasarkan modalitas
belajar yang dimilikinya.
Pengembangan Model Pembelajaran
Berpijak
pada tiga teori belajar seperti dijelaskan di atas, maka dalam
pengembangan model pembelajaran harus selaras dengan teori belajar yang
dianut. Dengan kata lain, apabila kita menganut teori behaviorisme, maka
model pembelajaran yang dapat digunakan diantaranya adalah model
pembelajaran yang tergolong pada kelompok perilaku. Untuk penganut teori
kognitivisme, model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model
pembelajaran yang mengarah pada proses pengolahan informasi. Adapun
untuk yang menganut teori belajar konstruktivisme, maka model
pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran yang bersifat
interaktif dan model pembelajaran yang berpusat pada masalah. Hal ini
didasarkan pada salah satu prinsip yang dianut oleh konstruktivisme,
yaitu bahwa setiap siswa menstruktur pengetahuannya sendiri berdasarkan
pengalaman dan hasil interaksinya dengan lingkungan sekitar. Jadi
pengetahuan itu tidak begitu saja diberikan oleh guru.
a. Pengembangan model pembelajaran behaviorisme.
Sesuai
dengan filosofis yang dianut oleh para ahli behavioris tentang belajar,
yaitu perubahan perilaku yang dapat diukur, maka dalam pengembangan
model pembelajaran harus diarahkan pada proses penciptaan perilaku baru
yang dapat diukur. Menurut pilosofis behaviorist, belajar terjadi
berdasarkan pola berfikir deduktif, dan siswa belajar secara individu
(individual learning). Selain itu, dalam proses pemelajarannya lebih
terfokus pada guru (teacher centered).
Model pembelajaran yang dapat dikembangkan diantaranya adalah model
pembelajaran mastery, model pembelajaran langsung, model pembelajaran
simulasi, model pembelajaran sosial, dan model pembelajaran berprogram.
Setiap model tersebut dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan dan
strategi.
b. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori kognitivisme.
Menurut
pandangan kognitivis, belajar bukan hanya sekedar perubahan perilaku
yang dapat diukur, melainkan bagaimana pengetahuan tersebut diproses.
Dengan kata lain, menurut kognitivis belajar bukan hanya sekedar
keterkaitan antara stimulus dan respons, melainkan apa yang terjadi
didalam fikiran atau mental orang yang belajar. Menurut pandangan
kognitivis, seseorang dikatakan belajar apabila dalam diri individu
tersebut terjadi proses pengolahan informasi dari saat menerima
informasi baru, mengolah, menyimpan dan mengulang kembali. Menurut
pandangan ini, belajar akan baik apabila diseusuaikan dengan tingkat
perkembangan siswa. Artinya, mengajarkan topik yang sama untuk anak dan
orang dewasa akan memiliki cara yang berbeda. Dalam proses berfikirnya,
dapat menganut pola fikir deduktif, maupun induktif.
c. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori konstruktivisme.
Berbeda
dengan teori sebelumnya, konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan
diperoleh langsung oleh siswa berdasarkan pengalaman dan hasil
interaksi dengan lingkungan sekitar. Dalam proses pemelajarannya lebih
ditekankan pada model belajar kolaboratif. Dengan kata lain, siswa
belajar dalam kelompok tidak seperti pada pembelajaran konvensional,
bahwa siswa belajar secara individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran
bahwa seorang siswa tidak hanya belajar dari dirinya sendiri, melainkan
juga belajar dari yang lain. Dengan demikian, model pembelajaran yang
perlu dikembangkan adalah model pembelajaran yang terpusat pada masalah
dan model belajar kolaboratif.
Trend Pembelajaran
1. Quantum Learning
Keberhasilan
proses belajar yang dialami oleh seseorang, tidak terlepas dari
beberapa faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari luar diri
individu maupun yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan.
Faktor yang berasal dari dalam diri individu berupa: motivasi,
partisipasi, konfirmasi, pengulangan, dan aplikasi. Adapun yang berasal
dari luar diri individu dapat berasal dari bahan ajar, pengajar, ataupun
lingkungan tempat dia belajar. Proses belajar yang terjadi pada
individu yang belajar, erat kaitannya dengan struktur otak yang
dimilikinya. Berdasarkan belahannya, otak manusia terdiri dari belahan
otak kanan dan belahan otak kiri. Otak kanan memiliki karakteristik
dalam cara berfikir logis, sekuensial, linier, dan rasional. Adapun otak
kiri memiliki karakteristik dalam berfikir yang acak, tidak teratur,
intuitif, dan holistik. Agar dalam proses belajar terjadi keseimbangan,
harus diupayakan kerja otak kanan dan otak kiri seimbang.
Quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Oleh karena itu, belajar dalam konsep quantum learning
adalah memberdayakan seluruh potensi yang ada, sehingga proses belajar
menjadi suatu yang menyenangkan bukan sebagai sesuatu yang memberatkan.
Quantum learning mengonsep
tentang “menata pentas: lingkungan belajar yang tepat.” Penataan
lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap
positif. Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta
didik quantum
dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik
maupun mental. Target penataannya ialah menciptakan suasana yang
menimbulkan kenyamanan dan rasa santai.
Lingkungan
makro ialah “dunia yang luas”. Peserta didik diminta untuk menciptakan
ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup
pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan
masyarakat yang diminatinya. “Semakin siswa berinteraksi dengan
lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan
semakin mudah Anda mempelajari informasi baru”. Setiap siswa diminta
berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan
masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan
pengertahuan pribadi.
Pola
yang dikembangkan tersebut, maka dalam setiap individu diharapkan
muncul sikap tanggung jawab terhadap diri, sehingga akan terus belajar
dan berupaya menggali sesuatu yang baru dan menggunakannya. Kemampuan
dalam menyerap informasi selanjutnya dikenal dengan istilah modalitas
belajar. Adapun kemampuan dalam mengatur dan mengolah informasi dikenal
dengan istilah dominasi otak.
DePorter
(2002) mengelompokkan modalitas seseorang menjadi tiga kelompok yaitu
visual, auditorial, dan kinestesik. Dalam proses belajar modalitas
tersebut dapat dibantu dengan menggunakan suatu alat yang dinamakan
media, yakni media pembelajaran. Seseorang yang bertanggung jawab
terhadap dirinya, akan benar-benar menyadari terhadap modalitas,
khususnya modalitas belajar yang dimilikinya.
Komponen
modalitas secara teoretis mengandung aspek-aspek seperti yang
dikemukakan Gardner (1992) mencakup berbagai cara dilakukan dalam
membelajarkan diri, mencakup: (1) verbal/linguistik, (2)
logical/mathematical, (3) visual/spatial, (4) body/kinesetik, (5)
musical/rhythmic, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, dan (8)
naturalistik.
2. Quantum Teaching
Mengajar
merupakan salah satu tugas seseorang yang menyandang predikat sebagai
pengajar. Ada empat kemampuan yang perlu dimiliki seorang pengajar yaitu
kemampuan dalam mendiagnosis tingkah laku siswa, melaksanakan proses
pembelajaran, menguasai bahan ajar, dan melakukan evaluasi hasil
belajar.
Mengajar
pada hakekatnya merujuk pada aktivitas yang dilakukan oleh pengajar
dalam rangka menciptkan proses belajar pada pembelajar. Dengan demikian,
mengajar merupakan upaya guru untuk menciptakan kondisi-kondisi atau
mengatur lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi proses interaksi
antara peserta didik dengan lingkungan, termasuk dengan guru, alat
pelajaran dan lain sebagainya. Melalui proses interaksi tersebut,
diharapkan pada diri peserta didik terjadi proses yang dikenal dengan
nama proses belajar (Nasution, 1982).
Dalam
konsep di atas, tersirat bahwa peran pengajar adalah pemimpin dan
fasilitator belajar. Dengan demikian, mengajar bukan hanya menyampaikan
bahan pelajaran, tetapi suatu proses dalam upaya membelajarkan peserta
pembelajar. Mengingat sasaran utama dalam proses pembelajaran adalah
terjadinya proses belajar, maka komponen-komponen pembelajaran
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, terutama modalitas yang
dimilikinya.
Quantum teaching,
merupakan konsep yang dikembangkan tentang mengajar ini didasarkan pada
asas utama, yaitu “bawalah dunia mereka ke dunia kita dan bawalah dunia
kita ke dunia mereka”. Selain itu, dikembangkan juga lima prinsip
dasar, yaitu segalanya berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman
sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, dan jika layak dikerjakan
layak juga dihargai (DePorter, 2002). Model yang dikembangkan terdiri
dari dua komponen yaitu konteks yang memiliki empat aspek (suasana,
landasan, lingkungan, dan rancangan) dan isi yang mencakup presentasi.
Kerangka rancangan belajarnya adalah tumbuhkan, alami, namai,
demonstrasikan, ulangi, dan rayakan (TANDUR).
Lawatan Sejarah Sebagai Model Pembelajaran
Lawatan Sejarah adalah suatu kegiatan perjalanan mengunjungi situs bersejarah (a trip to historical sites).
Jika mencermati uraian di muka, khususnya tentang pengembangan model
pembelajaran berbasis teori belajar yang berkembang, maka Lawatan
Sejarah dapat dikembangkan sebagai model pembelajaran sejarah baik
dengan basis teori behavioristik, koqnitif, maupun konstruktivistik.
Tinggal bagaimana guru dan/atau murid mengemasnya. Tentu saja, kalau
kita mengikuti perkembangan baru. Terutama paradigma baru yang dijadikan
rujukan yang mendasari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yang
dituangkan baik pada UU tentang Sisdiknas maupun Peraturan Menteri
tentang Standar Kompetensi dan Implementasinya, maka sangat jelaslah
bahwa paradigma pembelajaran kontruktivisme menjadi pilihan utamanya.
Mengamati
perkembangan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, gejala
diterimanya paradigma konstruktivisme dan tren pembelajaran quantum
sungguh menggembirakan. Hal ini terbukti dari mulai maraknya
kegiatan-kegiatan pendidikan baik formal (sekolah) maupun non formal
(pelatihan, workshop, atau bahkan seminar lokakarya) yang dikemas dalam
bentuk Edutainment.
Kita sudah lama mengenal istilah learning by doing, maka learning by experiencing adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan “Edutainment”.
Edutainment yaitu sebuah konsep yang saat ini sedang dikembangkan oleh
berbagai lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun non formal
(lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatihan, workshop, atau
seminar). Bahkan dinegara maju, edutainment telah ditopang oleh
teknologi yang maju, sehingga sebutannya menjadi edutainment and
technotainment (Edutechnotainment: pen). Progam ini diakui telah membuka
sumber daya baru, perkakas dan strategi untuk mengangkat capaian siswa
ke tingkat yang lebih tinggi (McKenzie, 2000).
Edutainment adalah akronim dari “education and entertainment”.
Dapat diartikan sebagai progam pendidikan atau pembelajaran yang
dikemas dalam konsep hiburan sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap peserta
hampir tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sendang diajak untuk
belajar atau untuk memahami nilai-nilai (value), sehingga kegiatan
tersebut memiliki nuansa yang berbeda dibandingkan dengan pembelajaran
biasa.
Edutainment
dapat digunakan untuk mengemas model pembelajaran melalui lawatan
sejarah. Aplikasinya tergantung dari kebutuhan dan impact yang
diharapkan oleh peserta. Lawatan sejarah yang dikemas dalam Edutainment
akan menjadi lebih menarik bagi peserta. Sebenarnya lawatan sejarah ini
hanyalah kendaraan saja. Yang terpenting adalah muatannya, baik itu internal maupun external issues, misalnya educational vision and mission, self esteem, sense of belonging, awarding, appreciation, product knowledge, atau competency.
Beberapa testimony
mengungkapkan bahwa setelah mengikuti lawatan sejarah tingkat daerah
(Laseda) maupun tingkat nasional (Lasenas – sudah 5 kali sejak 2003),
peserta merasa memperoleh ”sesuatu yang baru” yang berbeda dengan
sebelumnya (Kompas, 06 September 2003). Hal tersebut secara teoritik
bukan hal yang mengherankan. Ada faktor-faktor kunci sukses yang
terkumpul dalam diri peserta, seperti positive mental attitude, knowledge, skills, dan habit. Dengan melihat faktor-faktor tersebut, maka pendekatan penting dikembangkan adalah memberikan motivasi pada faktor positive mental attitude. Tekniknya dilakukan dengan menggali keinginan seseorang yang paling dalam dan menjadikannya sebagai main need atau main good. Sedang outputnya nanti adalah momentum seseorang untuk berubah.
Pada
tahap persiapan setiap rancangan kegiatan, maka guru bertanggungjawab
penuh menentukan scedule, dimana mereka secara cermat memperhitungkan
alokasi waktu menit per menit. Harus dirancang agar tidak ada jeda yang
menyebabkan acara jenuh. Hal ini dapat dikembangkan teknik-teknik
entertainment seperti sounds, diantaranya music, illustration, video
presentation, inspirational message, games. Suatu variasi yang
direkomendasikan oleh pembelajaran kontukstivisme dengan quantum
learningnya.
Tiap-tiap
pembicara yang terlibat dalam kegiatan ini saling berkoordinasi antara
satu dengan yang lainnya. Mereka dapat saling mengisi dan saling
menguatkan pesan (message), muatan (qoute) serta materi (material) yang akan disampaikan sebagai suatu cotinual synergy yang memiliki benang merah, yang akan memudahkan peserta untuk memahami pembelajaran yang disampaikan secara sederhana.
Lawatan
sejarah ini dapat dilaksanakan dalam waktu mulai dari setengah hari
hingga tiga hari, baik indoor maupun outdoor, misalnya di ballroom
hotel, aula, lapangan terbuka, pool side, atau camp didaerah pegunungan
atau pantai diluar kota, tergantung situs sejarahnya tentu saja. Lamanya
kegiatan, penggunaan equipments serta penentuan aplikasi materi- materi
outbound mempengaruhi hasil akhir, yang dapat berupa soft, middle, atau
high impact. Artinya semakin tinggi impact yang dihasilkan, semakin
tinggi pula motivasi orang tersebut setelah selesai mengikuti lawatan
sejarah. Bahkan ia akan dapat secara positif mempengaruhi dan memotivasi
teman yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bruce Joyce., Marsha Weil. (2000). Model of Teaching. Boston : Allyn and Bacon
Bruner, Jerome S. (1963). The Process of Education. New York : Vontage Books
Davis, Russel G. (1980). Planning
Education for Development: Volume Issue and Problems in The Planning of
Education in Developing Coutries. Cambridge. Massachusetts.
Gardner., White Blythe (1992). Multiple Modalities of Learning (Multiple Ontelligences).USA : CORD Communications, Inc
Good,C.V.(1973).Dictionary of Education.New York:McGraw-Hill Book Company.
McKenzie, Jamie. 2000. Beyond Edutainment and Technotainment. http://fno.org/sep00 /eliterate.html
Pannen Paulina, dkk. 2005. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Dikti. Depdiknas.
Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin Winataputra. 1997. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Dikti. Depdiknas.
Wowo
Sunaryo Kuswana., Yayat, Sriyono. 2003. Model, Pendekatan, Strategi,
Metode, Gaya. http://wowosk.com/artikel/kurpem-model.php.Sumber: http://mgmpsejarahkarawang.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar