Minggu, 29 Januari 2012

Memangnya Bule Selalu Lebih Cerdas?


Johan Wahyudi

Pendidik yang sedang belajar agar menjadi insan terdidik. Gemar menulis buku dan meneliti. Biasa diminta untuk menjadi trainer kepenulisan dan penelitian. Berusaha memberi sebanyak-banyaknya karena meyakini akan menerima sebanyak-banyaknya pula. HP 08562517895/ Email jwah1972@gmail.com.




Demam produk dan orang asing menyeruak hingga ke pedesaan. Kini orang-orang desa mulai demam dan berbangga dengan orang asing. Segala hal yang berbau asing dilirik dan disuka sehingga orang pribumi pun mulai ditinggalkan. Tak ayal orang asing begitu laris menerima pekerjaan dengan biaya tinggi sedangkan orang pribumi hanya mendapatkan honor sekadarnya meskipun lebih berkualitas.
Beberapa hari terakhir, saya mendapatkan banyak pertanyaan dari para kolega. Rerata pertanyaan itu berkenaan dengan keinginan kolega untuk mencarikan sekolah dan atau kampus bagi anak-anaknya. Pertanyaan itu tidak berkenaan dengan biaya yang harus dikeluarkan, tetapi berkenaan dengan keberadaan orang asing di lembaga tersebut. “Apakah ada orang asing yang mengajar di sana?” begitulah pertanyaannya. Saya tidak langsung menjawab pertanyaaan itu. Justru saya bercerita tentang kisahku berkenaan dengan rencana studiku.
Akhir 2010, saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang doktor atau S3 ke luar negeri. Waktu itu, saya memiliki lima pilihan untuk menimba ilmu ke lima negara. Tentunya saya teramat senang karena berkesempatan untuk mencari ilmu. Saya memang teramat gemar belajar. Dan tentunya saya menyambut gembira kabar itu seraya memersiapkan diri agar dapat meraih prestasi baik.
Saya pun langsung memberitahukan kabar itu kepada dosen pembimbing ketika saya masih berada di jenjang S2. Dengan mata berbinar-binar, saya menceritakan kabar itu dan memohon doa restunya. Bukannya saya disambut suka-cita, melainkan wajah cemberut sang dosen. Situasi itu tentu menimbulkan tanda tanya bagiku. Maka, saya pun memberanikan diri untuk bertanya kepada sang profesor.
“Prof, mengapa Profesor seakan kurang berkenan dengan keinginan saya?” tanyaku sambil menahan nafas. Jujur saja, saya sangat menghormati sang profesor yang terkenal lembut dan gemar menolong itu. Sang professor tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Beliau memandang keluar ruang sambil menahan nafas. Setelah dikira tenang, professor itu berkata, “Apakah Mas Johan kira semua bule itu lebih pintar daripada kita?”
Saya sempat kaget dengan jawaban profesor. Tentunya profesor itu tidak sekadar berkata. Beliau tentu memiliki dasar kuat atas pernyataannya. Maka, saya pun memberanikan diri untuk menyampaikan banyak pertanyaan. Dan betapa terkejutnya saya. Sungguh saya mendapatkan banyak banyak kisah menarik dari sang professor dan pelajaran yang teramat berharga.
Dari cerita profesorku dapat diketahui bahwa ternyata beliau sudah terlalu sering pergi ke luar negeri. Banyak perguruan tinggi dan Non-Goverment Organization (NGO) mengundangnya. Di sana, beliau sering diminta untuk menjadi narasumber kegiatan-kegiatan ilmiah. Memang beliau teramat cerdas. Saya sangat mengagumi olah bahasa dan alur pikirannya. Begitu mudah dipahami meskipun penjelasan itu diucapkan oleh guru besar.
Sambil terus berkisah, sang profesor pun menunjukkan beberapa karya ilmiahnya. Ternyata beliau sudah menulis cukup banyak buku dan jurnal ilmiah, baik di dalam negeri maupun jurnal internasional. Dan beliau pun memintaku untuk membaca sebuah curriculum vitae (CV) seorang PhD dari perguruan tinggi luar negeri. Dan saya pun terbelalak. Sungguh tak disangka, sang PhD itu hanya memiliki segelintir karya ilmiah. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sang profesorku.
Setelah kami cukup puas bercakap-cakap, sang profesor itu berkata, “Tidak semua orang bule itu lebih cerdas daripada kita. Justru saya mengkhawatirkan motivasi Mas Johan jika belajar ke luar negeri. Mungkin saja Mas Johan justru tidak dapat menulis buku lagi karena sibuk mengutak-atik literatur berbahasa asing. Di sini, Mas Johan bebas berkarya. Berusahalah sebaik-baiknya agar karya Mas Johan dapat memberikan banyak manfaat bagi bangsa ini. Negara kita memerlukan orang-orang yang kreatif.” Dan saya pun terdiam, termangu, serta termenung memikirkan ucapan sang profesor.
Pada tahun 1997, saya sempat menjadi pembina bahasa Inggris untuk sebuah sekolah yang bersistem boarding. Saya harus menginap dan menjadi pembina semua siswa agar mereka terbiasa berbahasa asing. Agar kemampuan bahasa Inggrisnya meningkat, secara berkala, saya mengundang orang bule untuk berkunjung ke asramaku. Terlihat begitu antusias para siswa menyambut kedatangan sang bule. Namun, saya cukup geli melihat ekspresi muka sang bule ketika mendapat pertanyaan kritis dari siswaku. Sangat tampak si bule itu gagap dan tidak berkemampuan menjawab pertanyaan anak setingkat SMA.
Sekitar tahun 2009, saya sempat mengajar siswa di sebuah sekolah internasional. Sekolah itu memekerjakan guru-guru bule dan sebagian guru pribumi. Guru-guru bule diminta untuk mengajar mata pelajaran tertentu. Yang saya tak habis pikir adalah kesenjangan penghargaan alias gajinya. Guru bule mendapatkan bayaran nyaris lima kali lipat dibandingkan guru pribumi. Ketika dibandingkan kualitasnya, mohon maaf, guru pribumi terlihat lebih menguasai kompetensi daripada guru bule. Sebuah situasi yang amat paradoks! Jadi, masihkah Anda menganggap orang bule lebih cerdas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar