Senin, 07 Mei 2012

Fenomena Artis Korea Mulai Meracuni Remaja Kita!

Demam K-Pop dan Drama Korea mulai menghinggapi sebagian besar remaja di negeri ini. Saat SUPER JUNIOR (SuJu) akan mengadakan Konser Super Show 4 di Jakarta, begitu banyak remaja kita yang rela antri sehari semalam hanya untuk mendapatkan tiket konser itu. Bercermin dari harga tiket konser SuJu yang lumayan mahal, apakah kita tahu semua remaja itu berasal dari keluarga mampu yang memiliki tingkat ekonomi berlebih?
Semua orang tua tentulah ingin menyenangkan putra putri mereka. Apapun itu. Tak terkecuali Jono (39). Jono bekerja pada sebuah perusahaan swasta. Istri Jono hanya seorang ibu rumah tangga. Gaji yang diterima Jono setiap bulannya hanya cukup untuk membayar cicilan KPR rumahnya, listrik, telpon, belanja bulanan dan harian, serta untuk membayar kewajiban SPP Ardi dan Kikan, anak-anak Jono.
Kikan (15) yang masih ABG itu begitu mengidolakan musik K-Pop. Saat tahu idola kesayangannya sang fenomenal SuJu akan menggelar konser “Super Show 4″ pada tanggal 28 dan 29 Mendatang di Mata Elang Internasional Stadium, Jakarta, Kikan begitu menggebu-gebu ingin mendapatkan tiket konser itu seperti teman-temannya. Mulailah ia merayu sang ayah agar bisa membeli tiket yang harganya lumayan mahal itu.
Jono berusaha memberi pengertian pada putri bungsunya itu. Jono mengatakan bahwa gajinya takkan cukup untuk hidup mereka sebulan jika Kikan tetap memaksa dibelikan tiket Konser Super Show 4 itu. Sayangnya, Kikan belum bisa memahami akan kesulitan ayahnya. Ia tetap ngotot minta dibelikan tiket konser itu. Bahkan Kikan ngambek tidak mau keluar kamar bila ayahnya tak memenuhi keinginannya.

Tinggallah Jono yang kelimpungan melihat kelakuan Kikan itu. Kikan memang belum bisa mengerti kondisi keuangannya. Berkali-kali Jono membujuk Kikan agar gadis kecil itu mau keluar kamar. Kikan tetap tak bergeming. Akhirnya Jono pun menyerah. Ia berjanji akan memenuhi keinginan Kikan.
Beberapa hari sebelum berita hebohnya antrian tiket Konser SuJu di Twin Plaza Hotel beberapa waktu lalu, Jono tak kalah hebohnya mencari pinjaman uang untuk bisa memenuhi keinginan putrinya membeli tiket Konser. Seperti yang kita ketahui harga tiket Konser Super Show 4 untuk kelas Junior Sky Seat sebesar Rp500 ribu, kelas Super Sky Seat Rp1 Juta, Junior VIP Seat Rp1,4 juta, Super Box, serta Super Fest Rp1,7 juta dan kelas Super VIP Seat Rp2 Juta! Wow! angka yang cukup fantastis untuk ukuran remaja kita, bukan?
Meski harus menahan rasa malu, Jono berusaha mencari pinjaman kesana kemari. Ia ingin membelikan tiket Kikan yang seharga Rp.1 juta. Jono hampir putus asa meminjam uang kepada teman-temannya. Beberapa teman yang ia temui selalu menjawab “maaf, belum bisa bantu”. Terakhir Jono menemui Rangga, rekan saya.

Dari Rangga lah saya mendengar kisah Jono yang tengah pusing 7 keliling mencari hutang demi anak tercinta. Tak peduli jika ia harus meminjam kesana kemari. Karena tidak tega, Rangga akhirnya memberikan pinjaman uang sebesar Rp.1 juta kepada Jono. Legalah hati Jono mendapat pinjaman uang dari Rangga.
Setelah Jono mendapatkan uang itu, saya belum bertanya lagi kepada Rangga apakah Jono dan Kikan berhasil mendapatkan tiket Konser Super Show 4 itu saat kehebohan tiket konser itu menjadi berita yang hangat dibicarakan. Yang saya tahu, tiket konser itu telah habis terjual.
Miris. Itulah yang ada di benak saya. Apakah sudah sedemikian hebatnya artis-artis K-Pop itu meracuni remaja kita? Usia 15 tahun memang usia labil. Usia di mana remaja sebagian besar ingin mengikuti trend yang marak dibicarakan. Saat teman-temannya yang lain mengidolakan SuJu, Kikan pun melakukan hal yang sama. Begitu pula saat teman-temannya bermaksud nonton Konser SuJu, Kikan tak peduli lagi dengan kondisi keuangan ayahnya yang pas-pasan.
Potret kehidupan seperti ini sungguh memprihatinkan. Orang tua demi menyenangkan hati anak, apakah harus selalu menuruti setiap keinginan buah hatinya meskipun tahu kondisi keuangan yang tak memungkinkan? Apakah harus rela menahan malu mencari pinjaman uang hanya untuk membeli tiket konser? Mungkin bila alasan meminjam uangnya untuk berobat ke dokter bisa kita maklumi. Sedangkan yang terjadi, Jono meminjam uang demi membelikan tiket Konser untuk Kikan.

Fenomena K-Pop dan drama Korea di negeri ini memang tak bisa terbendung lagi. Seharusnya orang tua bisa meyakini putra putri mereka bahwa tak perlulah sampai seperti itu mengidolakan artis Korea. Remaja kita kebanyakan telah termakan budaya luar. Apapun yang masuk ke negeri ini, berbondong-bondong diikuti. Alasan utamanya karena artis-artis Korea itu ganteng dan keren! Apalagi Drama Korea yang banyak ditayangkan di televisi. Menurut orang yang melihat tayangannya sih ceritanya bagus dan bisa bikin kita nangis Bombay! (masa sih?)
Remaja kita kini sangat menggilai bintang-bintang Korea seperti Super Junior, Shinee, DBSK, SNSD, dan Wonder Girls. Apalagi para penggemar Super Junior yang menamakan diri mereka Komunitas ELF, singkatan dari Ever Lasting Friend. Tapi kalau bagi saya, ELF itu singkatan dari Extra Lebay Fans!
Yang dikhawatirkan adalah remaja kita muli amengikuti gaya hidup artis-artis Korea. Seandainya remaja kita tahu bagaimana kehidupan dunia selebriti Korea yang sebenarnya, mungkin mereka takkan seperti itu menggilai idolanya. Saya pernah beberapa kali membaca artikel di Vivanews.com dan artikel dari situs online lainnya yang mengupas fenomena artis Korea yang sungguh mencengangkan.
Perlu kita ketahui bahwa Korea adalah Negara dengan angka bunuh diri nomor 1 di dunia! Menurut Menteri Kesehatan Korea Selatan, ada sekitar 35 orang Korea yang tewas bunuh diri SETIAP HARI, baik dari kalangan artis maupun orang biasa. Artis Park Jin Hee mengungkapkan dalam tesisnya bahwa lebih dari 40% artis Korea mengalami depresi dan ingin mengakhiri hidupnya. Tragis.  Seperti inikah gaya hidup selebriti yang diidolakan banyak remaja kita?
Satu hal yang lebih mencengangkan lagi, fenomena artis dan warga Korea yang terbiasa melalukan operasi plastik! Sebuah lembaga pekerja berbasis online di Seoul mengadakan survey mengenai ‘seberapa penting penampilan untuk orang Korea’. Hasilnya 90% responden pria dan wanita di sana menginginkan operasi plastik untuk mendukung penampilan mereka.
Ternyata operasi plastik di Korea sudah membudaya. Rata-rata orang Korea berusia 18-35 tahun lebih, menginginkan hadiah yang tak biasa. Mereka menginginkan agar mata, dagu, pipi, dan hidung mereka dirombak dengan operasi plastik. Bagi mereka operasi plastik jauh lebih penting ketimbang memiliki gadget atau kendaraan pribadi. Apalagi di kalangan artisnya, mereka cantik dan ganteng karena hasil permak di sana-sini.
Tugas kita sebagai orang tua adalah mengingatkan buah hati kita agar jangan sampai terlalu jauh ‘menggilai’ idolanya apalagi sampai mendewakannya. Memang tak salah bila putra-putri kita memiliki idolanya sendiri. Namun alangkah baiknya jika kita mengetahui seperti apakah idola mereka. Pantaskah mereka menjadi idola putra-putri kita?

Kebocoran Ujian Nasional (UN) Bentuk Kejujuran Pendidikan?

Pro dan kontra terhadap kebijakan ujian nasional (UN) seakan tidak kunjung selesai, ada yang mempersoalkan mengapa UN dijadikan penentu kelulusan peserta didik? Ada pula yang mempersoalkan letak legalitas UN dihadapan Undang-undang No 20 tahun 2003 yang dinilainya tidak memberikan kewenagan untuk menentukan lulus dan tidaknya peserta didik melalui UN? Meskipun demikian tidak sedikit pula kalangan yang sepakat bahwa UN merupakan langkah yang tepat untuk memacu mutu pendidikan nasional, menurutnya undang-undang sisdiknas serta PP no 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan (SNP) telah memberikan kewengan bagi pemerintah untuk melaksanakan UN bagi jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Apapun argumentasinya, baik itu yang pro maupun yang kontra semuanya tentu sama-sama sedang memikirkan jalan yang terbaik untuk masa depan pendidikan Indonesia. Oleh karena itu keputusan yang diambil Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan tetap menyelenggarakan UN tahun ajaran 2008/2009 merupakan keputusan yang perlu dihormati, meskipun demikian masyarakat tidak perlu mengurangi daya kritisnya untuk tetap melakukan pengawasan serta memberikan masukan kepada pemerintah sebab bagaimanapun kesempatan itu wajib diberikan kepada pemerintah untuk membuktikan apakah UN merupakan jalan yang terbaik dari yang baik?
 Memang tidak mudah untuk menjawab apakah UN merupakah jalan terbaik atau tidak? Butuh kajian yang sangat mendalam untuk memberikan kesimpulan terhadap pencapaian kebijakan pendidikan melalui UN, namun sejatinya relevansi dan konsistensi antar kebijakan pendidikan juga sangat penting untuk dijadikan bahan analisis kebijakan pendidikan Nasional minimal dalam kurun waktu 2004-2009. Tentu pada kesempatan ini tidak dalam posisi untuk memberikan kesimpulan apakah UN itu merupakah langkah yang tepat atau tidak? Namun lebih sekedar memberikan tanggapan kritis terhadap fakta-fakta dugaan kebocoran soal-soal UN yang tidak kunjung berhenti setiap tahunnya, adakah makna lain dibalik semua itu?
Sebagaimana catatan Inspektorat jenderal (Itjen) Depdiknas telah mencatat ada 22 kasus selama pelaksanaan ujian nasional (UN) 2009 untuk tingkat SMP, SMP luar Biasa (SMPLB), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan SLTA yang meliputi SMA, SMALB, Madrasah Aliyah (MA) dan SMK. "Kasus-kasus yang ditemukan pada pelaksanaan UN 2009 mulai dari kategori ringan terkait pencetakan dan distribusi soal hingga dugaan kebocoran soal UN," kata Inspektur IV Itjen Depdiknas Amin Priyatna kepada pers di Jakarta (kompas.com/4/5/09).
 Apa yang menarik tentang kebijakan UN? yang menarik adalah karena pelaksanaan UN selalu tidak pernah lepas dari penyimpangan (kebocoran soal-soal UN dll), meskipun fakta penyimpangan sekali lagi bukan menjadi sesuatu yang baru dan menjadi sebuah hal yang wajar dibanyak kebijakan, namun menjadi menarik dan tidak wajar ketika pelaku penyimpangan telah melibatkan oknum-oknum seperti kepala dinas hingga guru, bukankah ini sebuah realitas yang paradoks ditengah memuncaknya semangat pemuliaan guru melalui undang-undang guru dan dosen (UUGD)?
Dalam konteks UN, Sepintas guru memang perlu dipertanyakan moralitasnya, namun tidaklah fair jika semuanya itu dilimpahkan kepada guru sebab semua itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Menurut Ade Irawan kepala korupsi pendidikan ICW “mentengarai, guru yang melakukan curang itu, karena ada tekanan dari atas, yakni kepala sekolah, lalu kepala sekolah ditekan oleh kepala dinas, dan kepala dinas ditekan oleh kepala daerah,"
Jadi “sempurnya” aturan sempurna pula penyimpangannya, begitulah kira-kira kata yang pantas untuk menggambarkan sisi lain pelaksanaan UN sebab meskipun setiap tahunnya pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah berupaya meminimalisir segala bentuk penyimpangan UN, ternyata tidak menghentikan oknum-oknum terorganisir untuk sengaja berbuat menyimpang dalam pelaksanaan UN.
Realitas ini apakah bisa dijadikan sebagai kesimpulan sementara tentang “ketidakjujuran” para pelaku pendidikan kita? Jika pemahaman tentang kejujuran itu merupakan sebuah sikap apa adanya? Maka perilaku menyimpang dengan sengaja melakukan pembocoran soal secara sistematis merupakan salah satu bentuk kejujuran para pendidik kita, sebuah sikap kejujuran tentang ketimpangan pendidikan yang dirasakannya, kejujuran yang tidak pernah maksimal didengar oleh pengambil kebijakan, dan pengabaian hak-hak evaluasi guru sebagaimana yang digariskan dalam Undang-undang sisdiknas pada akhirnya memaksa para pendidik kita untuk memodifikasi konsep kejujurannya dengan apa yang populer kita sebut “menyimpang dalam UN” Dapatkah pemerintah bersikap lebih bijak dengan tidak memaknai hanya apsek formilnya saja?
Secara normatif semua orang memahami jika kebijakan UN memiliki tujuan yang sangat mulia, namun pemerintah melalui departemen pendidikan nasional (Depdiknas) perlu bekerja ekstra keras lagi untuk membuktikan apakah kebijakan UN memang langkah yang tepat untuk memacu mutu pendidikan nasional, jika memang hasil UN akan dijadikan sebagai bahan untuk memetakan mutu pendidikan nasional terlebih sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan langkah-langkah program pembenahan terhadap satuan pendidikan di semua daerah maka sudah saatnya depdiknas menunjukkan sikap kejujurannya, kejujurannya tentang pemenuhan standarisasi lainnya terlebih pada penggunaan hasil UN itu perlu dibuka secara transparan kepada publik sehingga jangan ada lagi pandangan yang miring jika “proyek-proyek pendidikan” hanya ditentukan oleh faktor Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Amin


 

Minggu, 04 Maret 2012

kisi-kisi ujian sekolah sosiologi 2011-2012

kisi-kisi, kartu soal pilihan ganda, kartu soal uraian, soal sosiologi kode A dan B, pedoman penskoran. Silahkan download disini. Password silahkan kirim email ke komunitaslantai5@gmail.com

Jumat, 24 Februari 2012

simulasi unas sosiologi 2012

Bapak dan ibu guru pengajar sosiologi, berikut ini ada lima model soal simulasi unas sosiologi 2012 dari penerbit Erlangga. Silahkan didownload dan dicermati untuk kesiapan siswa dalam menghadapi unas 2012, khususnya sosiologi
simulasi un sosiologi 2012 paket 01
simulasi un sosiologi 2012 paket 02
simulasi un sosiologi 2012 paket 03
simulasi un sosiologi 2012 paket 04
simulasi un sosiologi 2012 paket 05

Minggu, 19 Februari 2012

prediksi un sosiologi 2011-2012 flash

Bapak ibu guru dan siswa kelas XII IPS, prediksi un sosiologi ini saya buat dalam bentuk flash agar lebih menyenangkan saat belajar dan bisa diketahui hasilnya secara langsung. silahkan download disini

Jumat, 10 Februari 2012

Kisah Pak Udin:”Kepala Sekolah Baru”

Mustafa Kamal | http://sosok.kompasiana.com/2012/02/11/kisah-pak-udinkepala-sekolah-baru/

Pak Udin masih muda. Usianya baru 35 tahun. Baru sepuluh tahun mengabdi menjadi guru, namun karena keaktifannya, dia lulus sebagai Calon Kepala Sekolah. Tidak menunggu lama, setahun kemudian dia diangkat menggantikan kepala sekolah sebuah SMA di sebuah pesisir yang memasuki masa pensiun.
Dua bulan lagi akan memasuki masa-masa Ujian Nasional. Pak Udin yang idealis bertekad Ujian Nasional kali ini disekolahnya harus benar-benar Murni tidak boleh ada kecurangan. Membantu anak didik memberikan jawaban Ujian Nasional baginya sama saja mengajarkan generasi muda bahwa kecurangan itu halal! Sesuatu yang biasa! Mau jadi apa negri ini kelak pikir pak Udin.
Mendekati Ujian Nasional Pak Udin mendapat perintah dari Kepala Dinas Pendidikan setempat bahwa Bupati menginginkan kelulusan disekolah SMA di daerahnya harus 100%! Jika ada Sekolah yang kelulusannya dibawah itu, kepala sekolahnya akan diberhentikan dan dikembalikan menjadi guru biasa serta di mutasi kedaerah terpencil. Pak Udin berpikir kerasa antara idealis, harga diri namun dia juga tidak mau dimutasi kedaerah terpencil, istrinya akan kecewa juga anak-anaknya yang masih kecil. Pak Udin tidak terpisah dari keluarga yang dicintainya.
Pak Udin lalu berkonsultasilah dengan mantan kepala sekolah yang sudah pensiun yang pernah menjadi pimpinannya. Mantan kepsek tersebut menganjurkan Pak Udin untuk ikut saja arlur yang sudah berjalan sejak lama di daerah kita. “Demi masa depan anak-anak! Kebanyakan dari mereka adalah anak nelayan, petani karet, dan buruh-buruh di pabrik, jika tak lulus sekolah dipastikan banyak yang memilih berhenti sekolah, apalagi tidak ada lagi ujian Nasional Ulangan bagi yang tak lulus. Kesempatan mereka hanya satu kali.” Begitu kata mantan kepseknya. “Pak Udin, yang salah bukan kita, tapi pakar-pakar pendidikan yang dikementrian pusat yang membuat UN itu! Jika ada studi kelayakan maka UN belum layak dilaksanakan di negeri ini! Karena masih terdapat jurang perbedaan yang menganga lebar antara kota dan pedesaan. Tapi orang buta diatas tidak melihat itu! Jadi kitapun buta jugalah! Bantu anak didik kita untuk lulus UN demi masa depan mereka! Itu pesan mantan kepseknya.
Pak Udin pun bimbang di satu sisi apa yang disampaikan mantan kepseknya benar tapi hati kecilnya masih menolak, sampai kapan ketidakbenaran ini terus berlangsung. Pak Udin berpendapat UN sebaiknya dihapuskan. Kembalikan ke sistem EBTANAS seperti semula, dimana Ujian Akhir Nasional hanya sebatas untuk evaluasi dan pertimbangan bagi Perguruan Tinggi untuk meluluskan seorang calon mahasiswa layak atau tidak layak lulus di PT tersebut. Pak Udin  tidak setuju UN  sebagai penentu kelulusan! Masa, karena satu mata pelajaran di bawah 4 meskipun tiga mata pelajaran lainnya sangat baik, anak tidak lulus.  Sebagai contoh, Andi mendapatkan nilai 8 untuk bahasa Indonesia, 9 untuk bahasa Inggris, 7 untuk Matematika, 7 untuk kimia, tetapi hanya 3,5 untuk Fisika. Maka Andi dinyatakan tidak lulus karena salah satu mata pelajarannya tidak mencapai 4 sebagai syarat kelulusan! Padahal bisa saja Andi kondisi badannya tidak sehat ketika ujian Fisika tersebut! Sungguh tidak Adil, Andi anak baik dan termasuk anak berprestasi tidak lulus hanya gara-gara pemerintah bersikeras UN tetap diadakan! Pak Udin larut dalam renungannya sendiri.
Namun, akhirnya pak Udin sepakat dengan mantan kepseknya, Ya sudahlah kita tinggal di negeri buta, maka butakan saja mata hati kita! Selama UN masih menentukan kelulusan, selama itu pula dia akan membantu anak didik untuk lulus! Tekad Pak Udin.
Akhirnya Ujian Nasionalpun segera dimulai, Seluruh kepala sekolah berkumpul di ruangan kepala dinas pendidikan untuk mensukseskan harapan Bupati 100% kelulusan di daerahnya. Lewat telpon Kepala Dinas berbicara langsung dengan Kapolres setempat tentang besaran “amplop” untuk untuk kelancaran proses pengambilan soal UN nanti di kantor polisi, maka disepakati  setiap sekolah mengeluarkan uang amplop Rp 20 juta. Kemudian ada pula “uang rokok” untuk polisi jaga soal UN  tersebut, uang rokoknya bervariasi antara Rp. 500 ribu - Rp. 1 juta.
Pak Udin  kemudian membentuk tim Penjemputan soal yang biasanya dilakukan pada malam hari selepas sholat magrib ke kantor polres tempat penyimpanan soal UN. Pak Udin menugaskan  waka kurikulum dan stafnya, dengan membawa uang rokok untuk petugas jaga. Biasanya pengambilan soal ini dipercayakan ke salah satu sekolah saja misalnya yang punya mesin photo copy, kemudian sekolah itu akan memperbanyak soal dengan mengcopinya dan dibagikan ke seluruh sekolah rekanan melalui waka kurikulumnya. Biasanya sekolah yang ditunjuk ini saja yang bekerja, nanti kunci jawaban yang sudah dibuat disebarkan dengan sms ke sekolah-sekolah yang lain. Namun setiap sekolah membuat tim juga untuk berjaga-jaga.
Kemudian Pak Udin juga menyiapkan tim penjemput soal. Setelah soal dijemput, diperbanyak dan dibagikan ke seluruh sekolah. Setiap sekolah akan melibatkan seluruh guru mata pelajaran UN untuk menjawab soal sesuai mata pelajarannya. Setiap guru yang mata pelajarannya diujikan esok hari akan berkumpul di rumah salah seorang rekannya pada malamnya menunggu soal dari waka kurikulum. Biasanya lepas isya soal UN sudah ditangan para guru tersebut. Dan mereka akan mengerjakan “gotong royong” soal-soal tersebut karena ada beberapa paket. Selesai mengerjakan soal, kunci jawaban tersebut diantarkan kembali kepada waka kurikulum untuk diperbanyak
Waka kurikulum akan meneruskan kunci jawaban tersebut kepada Tenaga TU yang sudah stand by, tenaga TU tersebut akan memperbanyak dengan menulis dicarik kertas atau diperbanyak dengan diphotocopy. dan langsung dilipat kecil-kecil sesuai paket soal.
Kemudian dibentuk juga Tim pembagi kunci jawaban. Tim ini biasanya hanya dua orang yaitu waka kesiswaan dan stafnya. Oleh mereka ini sudah ditentukan siswa -siswa penerima setiap kelasnya, dan siswa tersebutlah yang bertanggungjawab membagikan kepada teman-teman sekelasnya. Siswa -siswa ini disuruh datang cepat sejam atau paling lambat 30 menit sebelum jam 07.00 WIB jam masuk sekolah dan  diserahkan di lokasi yang sudah ditentukan tempat paling tersembunyi di sekolah tersebut, atau ada juga subuh-subuh menjemputnya ke rumah waka kesiswaan.
Kemudian adalagi tim penerima kunci jawaban. Mereka adalah wakil siswa-siswa setiap ruang ujian,. Dalam pelaksanaan ujian ini pengawas silang dari sekolah lain tidak dikhawatirkan karena sudah ada kesepakatan bersama di daerah itu. Lalu siapakah yang ditakuti oleh pihak sekolah? yaitu Pengawas independen yang berasal dari Perguruan Tinggi terdekat yang tidak dapat diajak kerjasama. Memang ada juga yang dapat diajak kerjasama mereka ini adalah yang kenal dengan kepsek atau guru-guru disekolah itu, siapa guru yang kenal baik akan disuruh melobi oleh kepsek masing-masing. Tapi bagaimana dengan yang tidak bisa dilobi? Ada lagi tim khusus yaitu Tim ini terdiri atas 2 - 3 orang guru yang ditugaskan untuk mengajak pengawas independen ini ngobrol-ngobrol, dan mengajaknya menjauh dari ruang tempat ujian. Kadang dibawa rekreasi atau makan-makan selama Ujian berlangsung.
Dan akhirnya seperti yang direncanakan sekolah Pak Udin lulus 100%! Semua bahagia, bupati, kepala dinas, kepsek dan guru, orangtua serta anak didik pastinya! Seluruh anak didiknya bisa melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi tanpa terjegal oleh UN yang keliru! Pak Udin bersyukur, dan menyerahkan salah benarnya semuanya kepada Tuhan.

Senin, 06 Februari 2012

DORAEMON ternyata dibuat di INDONESIA


Kita semua pasti udah familiar dong dengan anime Jepang yang dulu sempat mewarnai acara TV kita di Hari Minggu, seperti Doraemon, Pokemon, atau Detektif Conan. Selain ceritanya yang menghibur dan bikin nyandu, gambar kartun animasinya juga tidak jarang bikin kita jatuh cinta. Lantas tak jarang pujian-pujian kita hantarkan kepada Jepang, si nenek moyang anime. Tapi tau ga kalau sebenarnya anime-anime tersebut pembuatannya ternyata dilakukan di Indonesia, tepatnya di Bali oleh perusahaan PT Marsa Juwita Indah. Memang tidak seluruh proses pembuatan film-film kartun tersebut dibuat di Bali, akan tetapi 50% dibuat oleh Perusahaan animasi yang bermarkas di Jalan Trijata, Denpasar tersebut.
 Proses pembuatan Film Animasi biasanya melalui 4 proses. Pertama-tama dimulai dari Praproduksi yang meliputi pembuatan konsep, scenario, karakter, storyboard serta dubbing awal. Setelah itu barulah kemudian masuk kedalam tahap pertama yang terdiri dari tata letak, pembuatan latar belakang, gerakan-gerakan kunci dan in between ((gambar-gambar yang menjembatani gerakan kunci agar terlihat halus). Produksi tahap kedua adalah proses scanning, coloring, composite, dan rendering.

Nah, dari keempat produksi tersebut, dua tahap dibuat di Indonesia. Hasil dari pekerjaan anak bangsa ini kemudian di kirimkan ke Jepang untuk disempurnakan ke tahap-tahap selanjutnya, lalu didistribusikan ke seluruh dunia. Dari pengerjaan tahap pertama dan kedua untuk animasi Doraemon yang durasinya 24 menit, perusahaan Asiana Wang Animation dan PT Marsa Juwita Indah meraup keuntungan sebesar $30.000 (270 juta rupiah). Perusahaan-perusahaan anime di Jepang lebih memilih untuk meng-hire perusahaan animasi Indonesia karena kualitasnya bersaing dengan harga terjangkau. Harga yang ditawarkan jauh lebih murah dibandingkan dengan Korea yang mematok $90.000 dan Filipina yang mematok $40.000.

Selain mengerjakan Anime, ternyata Animator di Indonesia juga mendapatkan tawaran dari Walt Disney. Asiana Wang Animation yang berlokasi di Tanggerang mendapat orderan untuk menggambar tokoh kartun si rusa, Bambi. Menurut pengakuan Amarsyah, Direktur Asiana, saat ini selain Walt Disney, perusahaanya juga turut menggarap kartun yang di produksi oleh MGM dan Warner Bros. Namun ketiga perusahaan raksasa animasi itu tidak mencantumkan nama Asiana Wang Animation di credit title film-film animasi tersebut. Hal ini dikarenakan pengerjaannya tidak seluruhnya dilakukan oleh Asiana, sehingga Asiana juga tidak berhak untuk mendapatkan royalti dari karya animatornya.
 Selain untuk di kirimkan ke Negara asalnya, ada pula perusahaan animasi yang mengerjakan animasi untuk konsumen dalam negeri, Red Rocket Animation, misalnya. Perusahaan ini pernah memproduksi kartun lokal berjudul “Dongeng untuk Aku dan Kau” yang pernah ditayangkan di Indosiar. Menurut pengakuan dari Direktur Red Rocket, pihaknya harus menyiapkan 25 gambar tiap detiknya, wajar saja jika kartun berdurasi 30 menit ini diselesaikan dalam satu tahun.

Kendala waktu, dan minat masyarakat akan profesi sebagai animator menjadi salah satu penghambat berkembangnya industri animasi di Indonesia. Padahal, animator merupakan profesi yang memiliki potensi besar, mengingat perusahan-perusahan animasi seperti Walt Disney dan Warner Bros saja mempercayakan proses pembuatan animasinya di Indonesia. So, coba kalau kita lebih mengapresiasi karya animasi Negeri sendiri, tentunya Upin & Ipin tidak akan berbicara bahasa Malaysia.