Senin, 07 Mei 2012

Kebocoran Ujian Nasional (UN) Bentuk Kejujuran Pendidikan?

Pro dan kontra terhadap kebijakan ujian nasional (UN) seakan tidak kunjung selesai, ada yang mempersoalkan mengapa UN dijadikan penentu kelulusan peserta didik? Ada pula yang mempersoalkan letak legalitas UN dihadapan Undang-undang No 20 tahun 2003 yang dinilainya tidak memberikan kewenagan untuk menentukan lulus dan tidaknya peserta didik melalui UN? Meskipun demikian tidak sedikit pula kalangan yang sepakat bahwa UN merupakan langkah yang tepat untuk memacu mutu pendidikan nasional, menurutnya undang-undang sisdiknas serta PP no 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan (SNP) telah memberikan kewengan bagi pemerintah untuk melaksanakan UN bagi jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Apapun argumentasinya, baik itu yang pro maupun yang kontra semuanya tentu sama-sama sedang memikirkan jalan yang terbaik untuk masa depan pendidikan Indonesia. Oleh karena itu keputusan yang diambil Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan tetap menyelenggarakan UN tahun ajaran 2008/2009 merupakan keputusan yang perlu dihormati, meskipun demikian masyarakat tidak perlu mengurangi daya kritisnya untuk tetap melakukan pengawasan serta memberikan masukan kepada pemerintah sebab bagaimanapun kesempatan itu wajib diberikan kepada pemerintah untuk membuktikan apakah UN merupakan jalan yang terbaik dari yang baik?
 Memang tidak mudah untuk menjawab apakah UN merupakah jalan terbaik atau tidak? Butuh kajian yang sangat mendalam untuk memberikan kesimpulan terhadap pencapaian kebijakan pendidikan melalui UN, namun sejatinya relevansi dan konsistensi antar kebijakan pendidikan juga sangat penting untuk dijadikan bahan analisis kebijakan pendidikan Nasional minimal dalam kurun waktu 2004-2009. Tentu pada kesempatan ini tidak dalam posisi untuk memberikan kesimpulan apakah UN itu merupakah langkah yang tepat atau tidak? Namun lebih sekedar memberikan tanggapan kritis terhadap fakta-fakta dugaan kebocoran soal-soal UN yang tidak kunjung berhenti setiap tahunnya, adakah makna lain dibalik semua itu?
Sebagaimana catatan Inspektorat jenderal (Itjen) Depdiknas telah mencatat ada 22 kasus selama pelaksanaan ujian nasional (UN) 2009 untuk tingkat SMP, SMP luar Biasa (SMPLB), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan SLTA yang meliputi SMA, SMALB, Madrasah Aliyah (MA) dan SMK. "Kasus-kasus yang ditemukan pada pelaksanaan UN 2009 mulai dari kategori ringan terkait pencetakan dan distribusi soal hingga dugaan kebocoran soal UN," kata Inspektur IV Itjen Depdiknas Amin Priyatna kepada pers di Jakarta (kompas.com/4/5/09).
 Apa yang menarik tentang kebijakan UN? yang menarik adalah karena pelaksanaan UN selalu tidak pernah lepas dari penyimpangan (kebocoran soal-soal UN dll), meskipun fakta penyimpangan sekali lagi bukan menjadi sesuatu yang baru dan menjadi sebuah hal yang wajar dibanyak kebijakan, namun menjadi menarik dan tidak wajar ketika pelaku penyimpangan telah melibatkan oknum-oknum seperti kepala dinas hingga guru, bukankah ini sebuah realitas yang paradoks ditengah memuncaknya semangat pemuliaan guru melalui undang-undang guru dan dosen (UUGD)?
Dalam konteks UN, Sepintas guru memang perlu dipertanyakan moralitasnya, namun tidaklah fair jika semuanya itu dilimpahkan kepada guru sebab semua itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Menurut Ade Irawan kepala korupsi pendidikan ICW “mentengarai, guru yang melakukan curang itu, karena ada tekanan dari atas, yakni kepala sekolah, lalu kepala sekolah ditekan oleh kepala dinas, dan kepala dinas ditekan oleh kepala daerah,"
Jadi “sempurnya” aturan sempurna pula penyimpangannya, begitulah kira-kira kata yang pantas untuk menggambarkan sisi lain pelaksanaan UN sebab meskipun setiap tahunnya pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah berupaya meminimalisir segala bentuk penyimpangan UN, ternyata tidak menghentikan oknum-oknum terorganisir untuk sengaja berbuat menyimpang dalam pelaksanaan UN.
Realitas ini apakah bisa dijadikan sebagai kesimpulan sementara tentang “ketidakjujuran” para pelaku pendidikan kita? Jika pemahaman tentang kejujuran itu merupakan sebuah sikap apa adanya? Maka perilaku menyimpang dengan sengaja melakukan pembocoran soal secara sistematis merupakan salah satu bentuk kejujuran para pendidik kita, sebuah sikap kejujuran tentang ketimpangan pendidikan yang dirasakannya, kejujuran yang tidak pernah maksimal didengar oleh pengambil kebijakan, dan pengabaian hak-hak evaluasi guru sebagaimana yang digariskan dalam Undang-undang sisdiknas pada akhirnya memaksa para pendidik kita untuk memodifikasi konsep kejujurannya dengan apa yang populer kita sebut “menyimpang dalam UN” Dapatkah pemerintah bersikap lebih bijak dengan tidak memaknai hanya apsek formilnya saja?
Secara normatif semua orang memahami jika kebijakan UN memiliki tujuan yang sangat mulia, namun pemerintah melalui departemen pendidikan nasional (Depdiknas) perlu bekerja ekstra keras lagi untuk membuktikan apakah kebijakan UN memang langkah yang tepat untuk memacu mutu pendidikan nasional, jika memang hasil UN akan dijadikan sebagai bahan untuk memetakan mutu pendidikan nasional terlebih sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan langkah-langkah program pembenahan terhadap satuan pendidikan di semua daerah maka sudah saatnya depdiknas menunjukkan sikap kejujurannya, kejujurannya tentang pemenuhan standarisasi lainnya terlebih pada penggunaan hasil UN itu perlu dibuka secara transparan kepada publik sehingga jangan ada lagi pandangan yang miring jika “proyek-proyek pendidikan” hanya ditentukan oleh faktor Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Amin


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar