Sungguh terkejut mendengar berita baru-baru ini yang mengatakan bahwa 50
persen PNS telah melakukan tindakan korupsi. Kabar tersebut terkait
dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
yang dilaporkan oleh wakil ketua PPATK Agus Santoso di sela-sela seminar
Nasional di Jakarta mengenai tindak pidana pencucian uang.
Dia
mengatakan bahwa sebanyak 50 persen PNS muda melakukan pencucian uang
dengan memasukkan uang negara ke dalam rekening pribadi, bahkan terdapat
10 PNS muda golongan IIIB yang berusia 28 tahun-an yang memiliki
rekening miliaran rupiah. Setiap menjelang akhir tahun, secara
bersama-sama PNS di Indonesia baik dari pusat maupun daerah terutama
bendahara proyek mengirimkan sebagian uang negara ke rekening istri dan
anaknya serta orang tuanya. Sungguh sangat menyedihkan melihat fenomena
ini.
Dengan dalih bahwa langkah tersebut dilakukan sebagai
pengamanan uang negara dikarenakan akan tutup buku, sedangkan proyek
belum selesai dilakukan, tetap saja hal te rsebut tidak dibenarkan.
Bahkan praktik semacam ini merupakan tindakan korupsi. Pelaku bisa
dijerat dengan pasal tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Ironisnya, mengapa kasus ini lambat ditindaklanjuti, padahal beberapa
temuan sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu.
Menteri keuangan
menjelaskan bahwa temuan PPATK tersebut diindikasikan berasal dari PNS
muda yang berasal dari daerah dikarenakan tidak memiliki sistem
administrasi keuangan yang baik, sedangkan untuk yang di pusat sudah
dilakukan minimalisasi, bahkan sudah 7 triliun uang negara diselamatkan
dari 6.000 rekening tidak jelas yang terdapat di pusat. Lalu mengapa hal
tersebut tidak diproses secara hukum, bahkan baru dikatakan jika ada
temuan rekening yang tidak jelas kembali barulah akan diproses secara
hukum, sungguh memperlihatkan tidak adanya sanksi bagi pemilik-pemilik
rekening tersebut.
Satu hal yang semakin menyakitkan hati rakyat
adalah bahwa keluarga dalam hal ini adalah istri dan anak pelaku turut
andil dalam praktik ini. Di mana fungsi seorang istri dan anak yang bisa
mengingatkan dan mencegah kesalahan dari kepala keluarga tersebut.
Dikatakan pula oleh Agus Santoso bahwa korupsi sampai saat ini menjadi
laporan terbanyak dari kejahatan awal tindak pidana pencucian uang.
Korupsi ini terjadi merata, dari barat sampai timur, utara sampai
selatan. Betapa korupsi di negara kita sudah sangat mengerikan.
Kesalahan Sistem Pendidikan Kita
Tentunya
ada kesalahan-kesalahan yang menyebabkan hal ini terjadi. Sebagaimana
teori sebab akibat ataupun terdapat dalam peribahasa ada asap ada api.
Salah satu kesalahan yang menyebabkan perilaku korupsi di Indonesia saat
ini 'menggurita' adalah sistem pendidikan yang ada di negara ini.
Betapa banyak orang-orang yang berorientasi profit ketika menempuh
pendidikan yang lebih tinggi.
Tentu hal tersebut tidak salah,
namun hal tersebut menjadi salah ketika dijadikan tujuan utama.
Akibatnya, seseorang yang telah menempuh pendidikan tinggi tidak ubahnya
seperti orang yang 'balas dendam' disebabkan karena uang yang sudah
dikeluarkan semasa ia menempuh proses pendidikan. Padahal sebenarnya
keuntungan finansial tersebut merupakan turunan atau efek dari apa yang
ia dapatkan yaitu ilmu.
Harus diakui bahwa fenomena ini terjadi
karena haluan pendidikan kita yang cenderung kapitalis. Bagaimana
mahasiswa-mahasiswa kita dijejali dengan teori-teori ekonomi kapitalis
yang mengajarkan untuk me ncari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Sehingga jangan heran dengan indikasi
kasus korupsi PNS di atas.
Manusia akan mencari jalan pintas
untuk mendapatkan uang dengan cepat tanpa harus berkorban banyak,
akibatnya korupsi dilakukan. Ilmu ekonomi yang diajarkan saat ini seakan
kembali mengulang kesalahan Ricardian atau yang lebih dikenal dengan
kejahatan Ricardian. Pada saat itu, sebagian ekonom menganggap bahwa
pengembangan model-model matematik dalam ilmu ekonomi yang dikembangan
David Ricardo (1772-1823) sebagai metodologi abstrak atau ekonomi papan
tulis. Metodologi berdasarkan penalaran deduktif yang sangat matematis
tanpa mengacu pada sejarah, sosiologi dan filsafat.
Ironisnya,
sebenarnya hal ini sudah disadari oleh guru-guru kita. Sudah banyak
disadari oleh profesor-profesor ekonomi dari berbagai universitas di
negara kita. Tetapi kesadaran hanyalah kesadaran. Usaha untuk
mengarahkan mahasiswanya agar menyadari hal tersebut bisa dikatakan
sangat minim, bahkan tidak sama sekali. Hal tersebut mungkin dikarenakan
lebih kepada sikap tidak mau ambil pusing, padahal guru-guru kita
tersebut sebenarnya mampu.
Maka di sinilah peran dari para
pendidik untuk dapat mengarahkan para didikannya untuk dapat membedakan
mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus diambil dan mana
yang harus dibuang. Sehingga proses pencerdasan generasi bangsa yang
akan menjadi calon-calon pemimpin dapat mengimplementasikan ilmunya demi
kemajuan rakyat, bukan sebaliknya mengeruk harta dengan membabi buta
demi kepentingan pribadi dan golongan.
Selain sistem pendidikan
ekonomi di atas yang berperan dalam terjadinya tindakan korupsi, maka
kesalahan sistem pendidikan agama yang terjadi di negara ini juga
memiliki peran besar. Waktu untuk mata pelajaran agama yang diberikan di
sekolah-sekolah di negara ini amatlah minim, hanya dua jam dari total
mata pelajaran yang ada. Anak-anak kita dijejali dengan
pelajaran-pelajaran umum tanpa menyeimbangkan dengan pelajaran agama
yang semestinya dapat 'meredam' kejadian-kejadian yang mungkin salah
pada pelajaran lain. Sehingga hal tersebut memungkinkan terjadinya
sekulerisasi, yaitu memisahkan antara Tuhan dan dunia.
Orang
mudah melakukan tindakan korupsi akibat dari pemisahan antara Tuhan dan
dunia tersebut. Ia merasa tidak bersalah dan merasa tidak akan ada
pertanggungjawaban kepada siapa pun mengenai tindakannya tersebut. Di
sini kita dapat melihat bahwa tidak adanya pengingatan-pengingatan oleh
pendidik kita melalui mata pelajaran agama tentang
kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang ditemui ketika proses
pembelajaran mata pelajaran lain. Walaupun sebenarnya hal tersebut dapat
diintegrasikan dengan baik, antara pelajaran agama pelajaran umum
lainnya, tapi tidak banyak yang melakukan ini.
Mengembalikan Titah Pendidikan di Indonesia
Setelah
kita menyadari akan hal tersebut, maka yang harus kita lakukan sekarang
adalah bersegeralah sebelum terlambat. Mari kita buang kesombongan atau
kecongkakan dalam diri, sehingga kita dapat belajar dari orang-orang
sederhana yang sebenarnya memiliki kebahagiaan yang luar biasa
dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki kelebihan dari segi harta.
Untuk
para pendidik di perguruan tinggi, marilah arahkan calon-calon pemimpin
bangsa itu untuk memiliki integritas kepada bangsanya. Bahwa dalam
kehidupan ini kebahagiaan tidak selalu diukur dari banyaknya harta,
tetapi bagaimana ia melalui proses yang benar dalam mendapatkan harta
tersebut.
Mari menanamkan keyakinan dalam diri bahwa orientasi
ilmu yang bermanfaat dapat memberikan turunan-turunan yang setimpal,
termasuk dalam harta kekayaan. Untuk para pendidik di sekolah-sekolah
dasar, menegah dan umum, marilah menyeimbangkan proporsi pembelajaran
seluruh mata pelajaran dengan pelajaran agama. Sehingga kita menyediakan
bibit -bibit unggul dalam mencetak calon-calon pemimpin bangsa ke
depan.
Penulis:
Joni Ariansyah adalah dosen Stiper Kutai Timur.
Penulis saat ini sedang menempuh sekolah pasca sarjana Ekonomi Sumber
Daya Lingkungan Institut Pertanian Bogor
Sumber: http://www.detiknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar