Selasa, 20 Desember 2011

Memahami Keteraturan Sosial melalui Pembelajaran Sosiologi

Oleh Agus Santosa (Guru Sosiologi pada SMA Negeri 3 Yogyakarta)

Pendahuluan
Kelahiran dan perkembangan sosiologi tidak lepas dari setting sosial yang melatarbelakanginya dan sekaligus merupakan basis masalah pokoknya. Revolusi politik Perancis (1789), revolusi industri yang berlangsung sepanjang Abad Ke-19 dan munculnya kapitalisme merupakan faktor yang paling besar perannya dalam perkembangan (teori-teori) sosiologi.
Transformasi masyarakat dunia barat dari corak pertanian ke sistem industri menjadikan banyak orang meninggalkan usaha pertanian ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Hal ini menimbulkan permasalahan-permasalahan yang mengganggu keteraturan kehidupan sosial yang mendorong munculnya pemikiran-pemikiran sosiologi. Sistem ekonomi kapitalis yang memunculkan segelintir orang dengan keuntungan yang besar di satu pihak, dan di pihak lain ada sebagian besar orang yang bekerja membanting tulang dengan jam kerja yang sangat panjang tetapi dengan sedikit penghasilan, telah memunculkan reaksi menentang sistem industri dan kapitalisme. Setting sosial akibat industrialisasi sangat mewarnai pemikiran para pemikir sosiologi awal (para perintis), seperti Saint Simon (1760-1825), Auguste Comte (1798-1857), Karl Marx (1818-1883), Emmile Durkheim (1858-1917), Max Weber (1864-1920), dan lain-lain.
Pemikiran sosiologi muncul dari kesalingterkaitan antara personal troubles dan public issues yang bersumber pada krisis pada keteraturan sosial. Industrialisasi dan kapitalisme oleh para perintis dianggap sebagai hal yang menganggu keteraturan sosial, sehingga muncul pemikiran-pemikiran untuk memulihkan keadaan atau memunculkan keadaan baru sebagai solusi atas masalah yang timbul.
Tulisan ini –apapun adanya—diharapkan dapat menjadi prasaran atau bahan diskusi mengenai peran atau fungsi pengajaran sosiologi di SMA untuk mengantarkan para peserta didik memahami keteraturan sosial di masyarakat atau lingkungan sosialnya. Apakah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ada dan sekaligus merupakan pagu dalam standar isi (Permen 22 Tahun 2006) telah cukup memadai untuk maksud tersebut? Kemudian, terkait dengan pelaksanaan SMA Bertaraf Internasional, bagaimana model atau bentuk adaptasi kurikulum yang ada dengan kurikulum berstandar internasional, dalam hal ini A-Level Cambridge University.

Pokok Bahasan Sosiologi
Emmile Durkheim (1965), menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi adalah fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada di luar individu, tetapi mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu. Fakta sosial, menurut Durkheim, berada di luar individu, tetapi bersifat memaksa dan mengendalikan individu, sehingga individu akan melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak selalu merupakan kehendak dirinya. Individu yang bertindak tidak sesuai dengan fakta sosial, akan mendapat sanksi dari suatu kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Durkheim mencontohkan perilaku bunuh diri (suicide) yang juga merupakan fakta sosial.  Integrasi sosial dalam suatu kelompok atau masyarakat yang terlalu kuat dapat memaksa individu untuk melakukan altruistic suicide. Misalnya di dunia militer atau sekte tertentu, individu dapat melakukan bunuh diri demi keselamatan rekan-rekannya. Bentuk lain bunuh diri yang juga merupakan fakta sosial sebagaimana dijelaskan oleh Durkheim adalah bunuh diri anomic dan egoistic.
Meskipun berbeda dari Durkheim, Max Weber mengungkapkan tentang pokok bahasan sosiologi, yaitu tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan tindakan yang oleh individu/aktor dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku pihak lain.  Sebagaimana fakta sosial yang diungkapkan oleh Durkheim, tindakan sosial pun berorientasi kepada terbentuknya keteraturan sosial. Orientasi kepada terbentuknya keteraturan sosial juga tampak pada uraian-uraian sosiolog lain, seperti C. Wrights Mills (Sociological Imagination) ataupun Peter L. Berger (thing are not what they seem).
Sedikit mengenai sosiologi di Indonesia, secara sangat singkat dapat diuraikan sebagai berikut. Meskipun tidak secara formal, ajaran-ajaran Wulang Reh (Mangkunegoro IV), Ki Hajar Dewantoro, mengandung unsur sosiologi. Tahun 1948 Kuliah Pertama Sosiologi oleh Prof. Mr. Soenario Kolopaking di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang FISIPOL UGM). Tahun 1950 Hasan Shadily menulis Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Tahun 1962 Selo Soemardjan menulis Social Change in Yogyakarta, dan bersama dengan Soelaiman Soemardi pada Tahun 1964 menulis buku Setangkai Bunga Sosiologi.
Dalam Setangkai Bunga Sosiologi, Selo Soemardjan memperkenalkan sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur, proses, dan perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial merupakan susunan atau konfigurasi unsur-unsur sosial yang pokok (nilai dan norma, kelompok, kelas, lembaga sosial, dll). Sedangkan proses sosial menunjuk pada adanya hubungan timbal-balik di antara unsur-unsur sosial . Struktur dan proses sosial membentuk sistem sosial, dan masyarakat adalah sebuah sistem sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi baik pada struktur dan proses sosial.
Hal yang penting diperhatikan ketika seseorang membicarakan struktur sosial adalah bahwa ia sedang berbicara mengenai sesuatu yang terdiri atas bagian-bagian yang saling bergantung dan membentuk suatu pola tertentu, dapat berupa pola perilaku individu atau kelompok, institusi, maupun masyarakat. Kiranya dapat dinyatakan bahwa perilaku sosial sesungguhnya merupakan fungsi dari struktur sosial dan kebudayaan. Hampir semua tindakan-tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh individu lebih merupakan preferensi struktur sosial atau kelompok daripada pribadinya..
Pembentukan Keteraturan sosial
Keteraturan sosial terbentuk karena ada proses sosial yang dinamakan konformitas, yaitu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap yang lain sesuai dengan harapan kelompok. Sejak lahir seorang anak diajarkan oleh orangtuanya untuk berperilaku sebagaimana jenis kelamin yang dimiliki. Bayi perempuan dan bayi laki-laki diperlakukan secara berbeda, diberi pakaian dengan bentuk dan warna yang berbeda, diberi mainan yang berbeda, dst. Proses pembelajaran demikian dalam studi sosiologi disebut sosialisasi.
Sosialisasi merupakan konsep penting dalam sosiologi, sebab seperti diakatakan Mead, bahwa diri manusia berkembang secara bertahap (preparatory, play stage, game stage, dan generalized other) melalui interaksi dengan anggota masyarakat yang lain. EH Sutherland menyatakan bahwa manusia menjadi jahat atau baik diperoleh memalaui proses belajar.
Sosialisasi berlangsung melalui interaksi sosial seorang individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain, baik yang berlangsung secara equaliter maupun otoriter, secara formal maupun nonformal, secara disadari maupun tidak disadari, di kelompok primer maupun sekundernya. Namun, untuk dapat berinteraksi dan berpartisipasi secara baik dalam kelompok atau masyarakatnya, individu juga harus melakukan sosialisasi. Individu harus mempelajari simbol-simbol dan cara hidup (cara berfikir, berperasaan, dan bertindak) yang berlaku dalam masyarakatnya sehingga ia menjadi wajar atau tidak aneh dan dapat diterima oleh warga lain dalam masyarakatnya.
Agen-agen atau media sosialisasi yang penting antara lain, (1) keluarga, (2) teman sepermainan, (3) lingkungan sekolah, (4) lingkungan kerja, dan (5) media massa. Di lingkungan keluarga peran para significant other (orang penting yang bermakna bagi seseorang), seperti ayah, ibu, kakak, baby sitter, pembantu rumah tangga, dll sangat penting. Kemandirian dan keterampilan sosial lainnya yang sangat penting bagi perkembangan seorang anak, dapat diperoleh melalui pergaulannya dengan teman sepermainan. Di samping mengajarkan tentang keterampilan membaca, menulis, berhitung, cara berfikir kritis dan analistis, rasional dan objektif,  lingkungan pendidikan/sekolah juga mengajarkan aturan-aturan tentang kemandirian, prestasi, universalisme, dan spesivisitas.
Peran media massa sebagai agen sosialisasi tidak diragukan lagi. Dari beberapa penelitian ditemukan fakta bahwa sebagian besar waktu anak-anak dan remaja di beberapa kota dihabiskan untuk menonton telivisi, bermain game online, chating, dan berinteraksi antar-sesama melalui blog (web log) seperti face book dan friendster. Ahli media massa menyatakan bahwa media is the message. Homogenisasi (proses menjadi semakin serupanya struktur dan trend berbagai masyarakat dari berbagai belahan bumi) yang merupakan trend global kurang lebih merupakan hasil dari berperannya media massa yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi, khususnya televisi dan internet.
Meskipun sosialisasi telah berlangsung sejak seseorang dilahirkan atau menjadi warga baru suatu masyarakat, tetapi tidak semua orang dapat berhasil dalam proses sosialisasi. Dengan kata lain, tidak semua orang mampu hidup dengan cara-cara yang sesuai dengan harapan sebagaian besar warga masyarakat. Meskipun para anggota masyarakat cenderung konformis, tetapi ada sedikit orang yang perilakunya berbeda atau menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan sebagian besar anggota masyarakat. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari perilaku yang sekedar aneh, lucu, nyentrik, masih merupakan individual peculiarities, belum lazim karena terlalu maju, sampai dengan perilaku yang benar-benar merusak tatanan sosia, bahkan jahat (crime).
Kepada sebagian kecil warga masyarakat yang berperilaku berbeda atau menyimpang inilah peran mekanisme dari lembaga-lembaga pengendalian sosial, baik yang formal maupun informal, baik melalui cara-cara yang bersifat persuasif ataupun kurasif, preventif maupun kuratif. Pengendalian sosial menurut Durkheim akan merupakan kekuatan yang berasal dari luar individu yang memaksanya untuk bertindak, berperasaan, dan berfikir sebagaimana fakta sosial, melalui diberlakukannya sanksi-sanksi (fisik, ekonomi, maupun mental) baik yang bersifat positif maupun negatif.
Dengan kata lain, keteraturan sosial akan tercipta apabila: (1) dalam struktur sosial terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas sebagai salah satu unsurnya; jika tidak demikian akan menimbulkan  anomie, (2) individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (peran sosialisasi), (3) individu atau kelompok menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (internalisasi dan enkulturasi), dan (4) berfungsinya sistem pengendalian sosial (social control).

Keteraturan Sosial dalam Masyarakat Multikultural
Masyarakat multikulrural (majemuk, plural) merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik (Furnivall, 1967). Majemuk/plural bukan sekedar heterogen. Seperti dinyatakan Cliford Geertz bahwa pluralitas ditunjukkan oleh terbagi-baginya masyarakat ke dalam subsistem-subsistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan terikat oleh hal-hal yang bersifat primordial. Dengan cara yang lebih rinci, Pierre van den Berghe menyebutkan beberapa sifat dasar masyarakat majemuk, yaitu: (1) terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok dengan subkultur saling berbeda satu dari lainnya, (2) struktur sosial terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer, (3) kurang dapat mengembangkan konsensus mengenai nilai yang bersifat dasar, (4) relatif sering mengalami konflik antar-kelompok, (5) integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan ketergantungan ekonomi, atau (6) dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya.

Mengingat karakteristik masyarakat plural seperti diuraikan di atas, proses integrasi sosial atau pembentukan keteraturan sosialnya akan memerlukan energi yang lebih besar, dan sangat tergantung pada bentuk dan konfigurasi struktur sosialnya serta proses-proses sosial yang ada.
Struktur sosial dalam masyarakat multikultural dapat dibedakan antara intersected dan consolidated. Dalam struktur yang intersected, integrasi atau keteraturan sosial lebih mudah terbentuk karena adanya silang-menyilang keanggotaan dan loyalitas. Sedangkan pada struktur yang consolidated, proses integrasi atau keteraturan sosialnya akan terhambat karena terjadi penguatan identitas dan sentimen kelompok yang diakibatkan oleh terjadinya tumpang tindih parameter dalam pemilahan struktur sosialnya.
Konfigurasi etnis dalam masyarakat multikultural, apakah (1) kompetesi seimbang, (2) maioritas dominan, (3) minoritas dominan, atau (4) fragmentasi, menentukan juga proses integrasi sosialnya. Pada konfigurasi (1) dan (4) memerlukan komunikasi dan adanya koalisi lintas-etnis, sedang pada konfigurasi (2) dan (3) integrasi sosial dapat terbentuk karena adanya dominasi suatu kelompok terhadap lainnya.
Ethnosentrisme, primordialisme, dan berkembangnya politik aliran merupakan faktor yang menghambat integrasi dan keteraturan sosial dalam masyarakat multikultural.  Pendidikan multikulturalsme diharapkan dapat menumbuhkan faham relativisme kebudayaan, universalisme, dan berkembangnya kehidupan politik nasional yang non-aliran dan berbasis program dan ideologi nasional.


Penutup
Dari uraian yang ada dapat disimpulkan bahwa (1) pengajaran sosiologi di SMA berperan penting dalam mengantarkan peserta didik untuk memahami terbentuknya keteraturan sosial dalam mastarakatnya, (2) Berdasarkan teori mengenai terbentuknya keteraturan sosial, SK dan KD pada standar isi (Permendikna Nomor 22 Tahun 2006) telah memadai untuk mengantarkan peserta didik memahami pembentukan keteraturan sosial.

Rujukan:

  1. 1. Budiono Kusumohamidjojo. 2000. KEBHINEKAAN MASYARAKAT DI INDONESIA; Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Grasindo.
  2. 2. George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2003. TEORI SOSIOLOGI MODERN, Edisi Ke-6. Terjemahan Oleh Alimandan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
  3. 3. H.A.R Tilaar. 2004. MULTIKULTURALISME, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
  4. 4. Kamanto Sunarto. 2004. PENGANTAR SOSIOLOGI, Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
  5. 5. Nasikun. 1992. SISTEM SOSIAL INDONESIA. Jakarta: Rajawali Pers
  6. 6. Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 SK dan KD Sosiologi SMA

Catatan:

*) Disajikan pada pertemuan Guru-guru Sosiologi (MGMP) Rintisan SMA Bertaraf Internasional (RSMABI) Propinsi JAwa Tengah, di SMA Negeri 1 Purworejo, Minggu 25 Januari 2009
Sumber: http://www.sman3-yog.sch.id/html/index.php?id=artikel&kode=24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar