Hukum Hanya "Galak" Pada Rakyat Kecil
Oleh:
Dadan Muhammad Ramdan
CATATAN kisah pilu anak bangsa yang tertindas
ketidakadilan hukum semakin panjang. Kali ini menimpa Rasminah binti
Rawan (60). Nenek yang hanya pembantu rumah tangga itu diseret ke meja
hijau lantaran dituduh mencuri enam piring, setengah kilo daging sapi,
dan pakaian bekas milik majikannya. Siti Aisyah Margarose Soekarno
Putri, sang majikan mengadukannya ke polisi.
Sebelum menjalani
tiga kali persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang tanpa didampingi
penasihat hukum, Rasminah sempat mendekam dua bulan di balik jeruji
Lapas Wanita Tangerang dan dua bulan tiga hari di tahanan Polsek Metro
Ciputat.
Nasib nenek warga Kampung Sawah Lama, Ciputat, Kota
Tangerang Selatan itu, kini berada di balik nurani seorang hakim yang
bakal memvonisnya. Rasminah dijerat Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Rasminah pun terancam dibui lima tahun.
Juga masih berbekas dalam
ingatan kita, gara-gara himpitan ekonomi warga lemah berurusan dengan
polisi. Empat terdakwa kasus pengambilan sisa buah kapuk di Perkebunan
Sigayung, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dihukum 24
hari penjara dipotong masa tahanan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri
Batang.
Ketimpangan hukum pun dirasakan Nenek Minah. Warga
Banyumas ini divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan
akibat mencuri tiga buah kakao seharga Rp2.100. Adapun kisah Basar
Suyanto dan Kholil, warga Kediri, Jawa Timur, Basar Suyanto dan Kholil,
keduanya harus berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah
semangka.
Sempat pula merasakan pengapnya tahanan, sebelum
akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri. Bahkan,
keluarganya mengaku sempat ditipu oknum polisi agar membayar Rp1 juta
supaya kasusnya dihentikan.
Sementara kasus-kasus kakap yang
melibatkan petinggi negara tak jelas juntrungannya. Buktinya,
megaskandal BLBI atau bailout Bank Century senilai Rp6,7 triliun. Hukum
begitu keras terhadap warga lemah. Berbeda terhadap koruptor yang
beberapa kali melakukan tindakan kejahatan selama menjabat posisi
penting. Mereka dapat leluasa mengatur keinginannya dan bermain mata
dengan aparat penegak hukum untuk memperingan sanksi.
Distorsi
ini jelas menjadi sebuah ironi karena Indonesia menganut negara hukum.
Negara yang menyatakan sebagai rezim taat pada hukum. Sayang, dalam
prakteknya banyak terjadi ketimpangan pelaksanaan hukum yang menyolok
mata tanpa ada koreksi.
Apa yang menimpa si pencuri piring,
pencuri kapuk atau pencuri kakao menjadi bukti jika hukum telah
disalahgunakan menjadi sekadar alat. Bukan lagi menjadi fondasi
mendirikan norma dan sistem hukum dalam tatanan negara. Hukum telah
dibajak dan senjata dalam barter kepentingan ekonomi, politik, dan
kekuasaan. Jadi sampai kapan hukum ini hanya "galak" terhadap rakyat
kecil!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar